Teknologi Tradisional Inspirasi Inovasi Berkelanjutan

6 days ago 2
ARTICLE AD BOX
Menggunakan alat pemintal sederhana dalam waktu lama membuat tangan panas hingga lecet. Inovasi Komang Ayu yang diberi nama Bagu Chakra, bekerja semi otomatis berbasis motor DC bertegangan rendah. Alat ini menggulung dan memilin serat gebang menjadi benang siap pakai menjadi lebih cepat dan mudah digunakan. "Kami mau buat benang ini jadi halus supaya produk yang dibuat lebih memiliki nilai jual yang lebih setara dengan kualitasnya," ujar Komang Ayu saat memamerkan inovasinya di wantilan Pura Desa, Pura Puseh, lan Bale Agung Desa Serangan, Kota Denpasar, Minggu (18/5). 

Komang Ayu, mahasiswi Program Studi Akuntansi, salah satu kampus di Denpasar, adalah salah satu peserta program Traditional Technology Innovators Residence and Hackathon yang diselenggarakan Pratisara Bumi Foundation (PBF), Fab Lab Bali, dan Culture Art Science Technology (CAST Foundation). Sebuah program yang telah bergulir sejak Desember 2024.

Sejak awal Komang Ayu terpilih masuk pemilihan 20 inovator muda yang juga ambasador teknologi tradisional dari 20 daerah di seluruh Indonesia. Para inovator kemudian mendapatkan kelas-kelas persiapan riset dan tools, serta pendampingan bersama 40 penggerak lokal (local enablers) yang memiliki keahlian dalam menjalani desain program. Selama kurang lebih 4 bulan, inovator menjalani proses residensi, riset lapangan, dan presentasi inovasi.

Program Traditional Technology Innovators Residence and Hackathon dimulai dari semangat mengajak generasi muda Indonesia usia 17-35 tahun untuk kembali mengembangkan pengetahuan lokal yang aplikatif di tempat asalnya melalui inovasi teknologi tradisional. Di mana pada praktiknya, teknologi tradisional secara turun temurun bisa memenuhi empat dasar filosofi kebutuhan hidup dasar yaitu sandang (fashion), pangan (food), papan (shelter), sadar (wellness).

Setelah mengikuti seleksi cerita, Komang Ayu lolos tahapan berikutnya yaitu pemilihan 10 inovator dari 10 kabupaten berbeda yang lolos ke tahap hackathon (membuat produk).  Tahapan ini lebih intensif karena mempertemukan proses inovasi secara langsung. Seluruh innovator mengembangkan idenya menjadi prototipe low-fi, terhitung sejak 9-17 Mei 2025 bersama tim Fab Lab Bali dan mahasiswa Fakultas Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bali.

“Untuk cari ide alatnya mengingat cara membuat benangnya kan berputar, berarti untuk mencari alat ini harus ada perputaran. Dari sana searching di (media sosial) Pinterest di sana dapat inspirasi dan ada pengembangan dari mahasiswa (Fakultas Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bali,” ungkap Komang Ayu. 

Puncak dari program ini adalah acara Tradisi Temu Teknologi: Pameran Inovasi Teknologi Tradisional, dengan mengajak khalayak luas untuk ikut menyaksikan cerita dan inovasi teknologi tradisional secara langsung di Desa Serangan. 

Tafia Sabila, Lab Expert, Design Research-Biomaterials, Fab Lab Bali, sebagai salah satu mentor utama di program ini mengatakan, program residensi dan hackathon ini dirancang dengan pendekatan bertahap untuk mendampingi para inovator dalam mengembangkan ide inovasi berbasis pengetahuan ekologi tradisional (Traditional Ecological Knowledge/TEK). 

Kios Utak-atik -SURYADI

Program diawali dengan pelatihan untuk para local enabler (penggerak lokal) sebagai pendamping bagi para inovator selama proses residensi berlangsung di desa masing-masing.  Selama program residensi, para inovator dibekali dengan materi pembelajaran yang terstruktur, mulai dari metode riset lapangan berbasis etnografi, pemetaan tantangan lokal, hingga analisis dan sintesis data untuk merumuskan peluang inovasi. Pendekatan meaningful design digunakan untuk memastikan bahwa solusi yang dikembangkan tetap berakar pada konteks budaya dan ekologis setempat. “Di tahap hackathon, para inovator dibimbing dalam proses pembuatan purwarupa (prototyping), mulai dari pengembangan low-fidelity prototype hingga high-fidelity prototype menggunakan teknologi fabrikasi digital. Materi yang diberikan juga mencakup dasar-dasar desain produk, teknik kolaboratif, serta strategi presentasi untuk menyampaikan ide inovasi secara efektif,” jelas Tafia. 

Di tengah perubahan iklim yang semakin nyata dampaknya ke kehidupan, Program Traditional Technology Innovators Residence and Hackathon juga mengedepankan solusi berkelanjutan. Saniy Amalia Priscilla, Co-Founder Pratisara Bumi Foundation, mengatakan, tanpa kita sadari komunitas lokal telah menemukan berbagai jawaban yang sejak lama teruji dan tertanam dalam kearifan lokal Indonesia dalam bentuk teknologi tradisional. 

“Program ini berawal dari keprihatinan atas ketidakseimbangannya ekosistem bumi. Padahal, masyarakat Indonesia secara turun temurun memiliki warisan pengetahuan lokal dan teknologi tradisional yang selaras dengan alam. Kami ingin membangkitkan kembali minat generasi muda terhadap pengetahuan, alat, metode ini agar tetap lestari. Dengan mengumpulkan dan mengembangkan cerita teknologi tradisional dari berbagai daerah, dan menginovasikan teknologi tradisional, kami ingin menunjukkan bahwa teknologi dapat menghubungkan komunitas, bekerja dalam batasan alam dan minim jejak emisi. Kami percaya ini adalah kunci untuk menjawab tantangan krisis iklim dan pelestarian kearifan lokal.” tutur Saniy Amalia Priscilla.

Pratisara Bumi Foundation berharap program ini menjadi katalis untuk merevitalisasi pengetahuan lokal pada teknologi sebagai bagian penting dari inovasi baru yang berdampak bagi masyarakat daerah dalam mengembangkan solusi lokal, menyeimbangkan pelestarian dan teknologi masa depan. 

Wan Zaleha Radzi, Co-Founder CAST Foundation menambahkan, teknologi tradisional warisan masyarakat adat pada umumnya adalah teknologi yang selaras dengan alam sekitarnya. CAST Foundation selalu aktif mendorong lahirnya inovasi teknologi ramah lingkungan yang memberikan dampak bagi peningkatan keselarasan alam dengan kesejahteraan hidup manusia di dalamnya. 

“Bagi CAST Foundation, teknologi tradisional bukan sekadar peninggalan masa lalu, melainkan benih masa depan, lahir dari kearifan lokal yang hidup dalam harmoni dengan alam. Program ini penting bagi kami karena mempertemukan pengetahuan leluhur dengan teknologi masa kini untuk melahirkan inovasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga selaras dengan bumi, bukan malah merusak dan menguasainya. Sebab dalam banyak budaya kita, manusia bukanlah pemilik alam, tapi bagian darinya,” kata Wan Zaleha Radzi. 

Di luar program Traditional Technology Innovators Residence and Hackathon,  CAST Foundation turut mendukung keberadaan Kios Utak-Atik (Fab Lab Bali) yang dibangun di Desa Serangan. Melalui Kios Utak-Atik ini masyarakat umum dapat menerjemahkan ide-ide menjadi produk inovatif berkelanjutan tanpa dipungut biaya. 

Kios Utak-Atik merupakan wadah terbuka bagi masyarakat Desa Serangan untuk mengakses berbagai bentuk teknologi modern, yang diharapkan dapat memberikan dampak bagi peningkatan kemandirian dan kesejahteraan hidup masyarakat sekitar sekaligus tetap menjaga warisan adat, kebudayaan dan kearifan lokal yang sudah tertanam sebelumnya. 

Seperti halnya Bagu Chakra yang diharapkanı memberikan dampak positif berupa diversifikasi produk serat gebang yang berkualitas, berkontribusi pada pelestarian budaya lokal seperti gembrang. Efisiensi pemintalan serat ini diharapkan mendorong ketertarikan generasi muda dan meningkatkan pendapatan perajin lokal. Selain itu, regenerasi tanaman gebang sebagai bahan baku utama juga bisa mencegah erosi pada dataran miring, seperti di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu, Karangasem, tempat Komang Ayu melakukan riset awal. “Ini (Bagu Chakra) masih tahap prototipe, jadi masih ada yang perlu diperbarui. Mungkin lebih ke memaksimalkan dari instalasi di dalamnya biar lebih ketahanannya dan penggunaannya lebih mudah. Kan yang menggunakan nanti masyarakat di Desa Dukuh,” ungkap pemudi asal Desa Yeh Malet, Kecamatan Manggis, Karangasem. 7adi 
Read Entire Article