ARTICLE AD BOX
MANGUPURA, NusaBali
Menjelang high season pariwisata yang biasanya dimulai pertengahan tahun, pelaku usaha vila resmi di Bali menghadapi kekhawatiran serius. Sebab tingkat hunian atau occupancy rate sejumlah vila di bawah naungan Bali Villa Rental Management Association (BVRMA) tercatat anjlok hingga di bawah 30 persen.
Ketua Umum BVRMA Kadek Adnyana, menyebut fenomena ini sangat mengkhawatirkan. Dia mengaku, biasanya di bulan Mei, okupansi sudah mulai naik, bahkan mencapai 80 persen untuk booking (pemesanan) bulan Juni hingga Agustus. Tetapi okupansi justru turun drastis. Bahkan banyak anggotanya melaporkan okupansi di bawah 30 persen.
“Biasanya di bulan yang sama di tahun sebelumnya okupansi bisa sampai 80 persen menjelang high season. High season kami biasanya di bulan Juli-Agustus, biasanya Juni sudah mulai ada booking. Nah sekarang bulan Mei-Juni ini belum jelas juga, belum ada yang booking,” ungkap Adnyana, Jumat (16/5).
Adnyana menilai penurunan ini terjadi bukan karena kurangnya wisatawan yang datang ke Bali, melainkan karena fenomena pergeseran preferensi akomodasi wisata yang mulai beralih ke rumah tinggal yang disewakan secara ilegal. Dia melihat, banyak wisatawan justru menginap di rumah-rumah tinggal yang dikomersilkan seperti vila.
Menurutnya, praktik ini menciptakan persaingan harga yang tidak sehat. Vila-vila ilegal dapat menawarkan harga sewa yang jauh lebih murah karena tidak dibebani kewajiban perizinan dan pajak. Sejumlah kawasan di Bali disebut menjadi titik rawan maraknya vila ilegal, antara lain Canggu, Seminyak, Uluwatu, dan Ubud. Bahkan, fenomena ini mulai merambah ke wilayah timur seperti Karangasem dan Singaraja, di mana pembangunan vila baru terus meningkat.
“Vila legal bisa Rp 8-9 juta per malam karena ada biaya izin Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dan pajak lainnya. Sementara vila ilegal bisa hanya Rp 5 juta per malam. Tentu wisatawan pilih yang murah, apalagi mereka tidak tahu mana yang legal dan tidak,” tambahnya.
BVRMA, lanjut Adnyana, saat ini menaungi sekitar 75 perusahaan manajemen yang mengelola lebih dari 3.000 unit vila legal di seluruh Bali. Semua anggota kini mengeluhkan penurunan okupansi secara signifikan, bahkan hingga menyentuh level yang belum pernah dialami sebelumnya. “Kami sudah koordinasi dengan pemerintah dan menjadi bagian dari Badan Pengelola Pariwisata Bali. Kami akan terus bersuara dan mencari solusi,” ujarnya.
Lebih jauh, Adnyana mengungkap bahwa tidak sedikit dari vila ilegal ini dikelola oleh Warga Negara Asing (WNA) yang menerima pembayaran dari negara asal wisatawan. “Kadang wisatawan booking di negara sendiri, sehingga tidak masuk pajaknya di Indonesia. Yang dikirim ke sini itu hanya sebatas operasional vilanya, nah pembayaran dilakukan di luar negeri, sedangkan di sini hanya dapat sampahnya saja,” tegasnya.
Adnyana menekankan pentingnya pengaturan dan penegakan regulasi terhadap usaha penyewaan vila dan akomodasi pariwisata di Bali. Mereka mendorong adanya sosialisasi yang masif kepada investor dan pemilik properti mengenai kewajiban izin seperti SLF, PBG, dan pajak. “Tentu kami harap makin banyak orang yang menanam modal di Bali, tetapi tentu mereka harus tau dan mengikuti peraturan yang ada,” haranya.
Adnyana juga berencana bersama BVRMA akan menyusun strategi jangka pendek dan panjang, termasuk kemungkinan menggelar diskusi publik atau diskusi secara parsial dengan pemangku kebijakan. Tujuannya adalah menciptakan sistem yang adil, legal, dan berdaya saing dalam bisnis vila di Bali.
“Kami ingin mengajak BVRMA menyatukan visi misi bahwa kita harus memperjuangkan bisnis vila agar tetap eksis di Bali, sesuai dengan peraturan yang ada yang dibuat oleh pemerintah dan kemudian ditegakkan pelaksanaannya, sehingga bisa membuat quality tourism semakin baik,” imbuhnya. 7 ol3