Ojol di Persimpangan: Komisi Dipangkas atau Ekosistem Terjungkal?

4 days ago 2
ARTICLE AD BOX
Namun, di balik gelombang protes ini, sejumlah pejabat negara dan ekonom menyerukan kehati-hatian. Mereka menegaskan, intervensi terhadap sektor transportasi daring tidak bisa dilakukan secara populis karena menyangkut ekosistem digital yang sangat kompleks dan saling bergantung.

Ekosistem Ojol: Jauh Lebih Kompleks dari Sekadar Aplikasi

Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi dalam konferensi pers di Jakarta (19/5), menyebut bahwa tuntutan penurunan komisi tidak bisa disikapi secara instan. Ia menekankan pentingnya keseimbangan demi keberlanjutan ekosistem.

“Kalau hanya berpikir soal potongan 10 persen, bisa saja. Tapi kami tidak bisa membuat keputusan yang tidak mendengar seluruh pihak. Ini bukan bisnis biasa—ini ekosistem besar yang mencakup pengemudi, aplikator, UMKM, konsumen, logistik, hingga investor,” tegas Dudy.

Menurutnya, setiap platform seperti Gojek, Grab, Maxim, hingga InDrive memiliki skema potongan dan fitur yang berbeda. Para mitra pengemudi pun memiliki kebebasan untuk memilih platform sesuai kebutuhan. Pemerintah, kata Dudy, lebih memilih membuka ruang dialog dan mengambil keputusan berbasis data ketimbang populisme kebijakan.

Data Kominfo dan BPS mencatat lebih dari 3 juta orang menggantungkan hidup dari transportasi daring. Selain itu, Grab dan Gojek telah mendigitalisasi puluhan juta UMKM yang kini bergantung pada ekosistem ini untuk distribusi dan pemasaran.

Risiko Dampak Ekonomi Sistemik

Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha, mengingatkan bahwa industri ojol, taksol, dan kurir daring menyumbang sekitar 2 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional (data ITB, 2023). Bila struktur komisi dipaksakan turun drastis, dampaknya sangat signifikan:
  • • Sekitar 1,4 juta pekerjaan berisiko hilang.
  • • Hanya 10–30 persen pengemudi yang bisa beralih ke sektor formal.
  • • Potensi penurunan PDB hingga 5,5 persen.
  • • Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp178 triliun akibat efek berantai di berbagai sektor.

“Penurunan komisi bukan sekadar urusan aplikator dan pengemudi. Ini menyangkut daya beli masyarakat, kelangsungan UMKM, bahkan stabilitas keuangan mikro,” ujar Agung.


Jangan Hapus 10 Tahun Kemajuan Teknologi

Dalam program Akbar Faizal Uncensored (24/5), Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, memperingatkan bahwa keputusan tergesa bisa menghapus kemajuan ekosistem digital yang telah dibangun selama lebih dari satu dekade.

“Saya khawatir ini jadi setback industri digital kita. Indonesia dulu bangga punya unicorn. Kalau aturan dibuat tanpa kepastian hukum dan data, kita bisa kehilangan investor dan momentum pertumbuhan,” kata Piter di Podcast bersama mantan wartawan NusaBali tersebut.

Piter menilai, struktur komisi selama ini terbentuk oleh dinamika pasar. “Tidak ada monopoli di industri ini. Kalau pengemudi merasa keberatan, mereka bisa pindah ke platform dengan potongan lebih rendah. Maxim dan InDrive misalnya hanya potong 9–15 persen,” imbuhnya.

Ia pun meminta semua pihak, termasuk DPR dan Kementerian, untuk tidak gegabah dalam membuat aturan yang hanya mengakomodasi satu sisi persoalan. “Perubahan yang tidak hati-hati justru bisa menghancurkan potensi besar industri digital kita di masa depan,” tegasnya.

Menghindari Efek Domino

Penurunan komisi secara paksa juga dapat menekan kemampuan perusahaan untuk memberi insentif, termasuk promo untuk pelanggan. Padahal insentif semacam ini terbukti mendukung UMKM untuk menjangkau pasar lebih luas.

Menurut riset CSIS dan Tenggara Strategics (2019), setiap kenaikan 10 persen jumlah mitra ojol dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja sektor mikro dan kecil sebesar 3,93 persen. Artinya, ekosistem ini berperan besar dalam pengentasan pengangguran dan mendorong ekonomi rakyat.

Menhub Dudy dan para ekonom sepakat bahwa regulasi terhadap sektor transportasi daring harus dilakukan dengan pendekatan multipihak, mendengarkan semua suara, dan disusun berbasis bukti serta proyeksi jangka panjang.

“Kalau salah langkah, niat memperbaiki bisa berubah jadi blunder. Kita tidak hanya bicara soal pengemudi atau aplikator, tapi juga jutaan konsumen, UMKM, dan masa depan ekonomi digital Indonesia,” tutup Dudy.

Read Entire Article