ARTICLE AD BOX
Pendekatan berpusat pada siswa beranggapan bahwa siswa tidak hanya menerima informasi secara pasif, melainkan aktif mencari, mengolah, dan membangun pengetahuan sendiri. Guru bertindak sebagai fasilitator, bukan sebagai satu-satunya pemberi materi, Namun kenyataannya siswa tidak aktif, tidak kreatif, dan tidak inovatif dalam pembelajaran. Alasannya, antara lain, siswa tidak merasa pembelajaran relevan dengan kehidupannya atau masa depannya, pembelajaran terasa membosankan dan tidak menantang, tidak ada penghargaan terhadap usaha atau ide siswa, hanya fokus pada nilai akhir.
Siswa tidak merasa pembelajaran relevan dengan kehidupannya. Metode pembelajaran monoton, guru hanya ceramah tanpa melibatkan diskusi atau proyek. Padahal siswa milenial terbiasa dengan konten interaktif seperti YouTube atau TikTok. Di samping itu, pembelajaran tidak relevan dengan kehidupannya. Misalnya, siswa diminta menghafal teori fisika, tapi tidak diberi contoh penerapan di kehidupan nyata seperti cara kerja GPS atau sensor smartphone. Di samping itu, kurangnya ruang untuk mereka berekspresi, tugas selalu dalam bentuk tulisan, tidak ada opsi membuat video, poster digital, atau presentasi kreatif yang sesuai gaya belajar siswa era digital. Ketika siswa mencoba ide baru dalam tugas, malah dikritik karena ‘tidak sesuai buku’, sehingga mereka memilih untuk diam dan menyalin saja.
Pembelajaran terasa membosankan dan tidak menantang ketika siswa hanya diminta menghafal, mengerjakan soal-soal rutin, dan tidak diajak berpikir kritis atau berkreasi. Guru matematika setiap hari hanya memberi soal di papan tulis, menyuruh siswa menyalin, mengerjakan, tanpa menjelaskan kegunaan konsep tersebut dalam kehidupan nyata.
Siswa pun merasa bosan karena hanya mengulang hal yang sama dan tidak paham manfaatnya. Guru menjelaskan sejarah dengan membaca buku teks dari awal sampai akhir, lalu memberi tugas rangkuman. Siswa milenial yang terbiasa dengan video pendek, animasi, dan konten interaktif merasa bosan dan tidak tertarik. Solusinya, gunakan media dan metode yang dekat dengan dunia mereka, misalnya, “Buat video TikTok berdurasi 1 menit yang menceritakan peristiwa penting Proklamasi Kemerdekaan”. Ini menantang kreativitas, melatih berpikir ringkas, dan membuat belajar jadi seru.
Kurangnya penghargaan terhadap usaha atau ide siswa milenial dapat membuat mereka merasa tidak dihargai, tidak percaya diri, dan akhirnya menjadi pasif, tidak kreatif, serta enggan berinovasi. Anak-anak milenial tumbuh di era digital yang terbiasa dengan respons cepat dan pengakuan atas karya mereka (seperti like, komentar, share). Jika di sekolah ide atau usaha mereka diabaikan, mereka merasa tidak dilihat dan kehilangan motivasi. Contoh kasus, seorang siswa membuat video kreatif untuk tugas Bahasa Indonesia tentang puisi, lengkap dengan musik dan efek visual. Tapi guru hanya berkata, “Tugasnya bukan bikin video, cukup tulis puisi di buku.” Akibatnya, siswa kecewa, merasa ide dan kreativitasnya tidak dihargai. Di tugas berikutnya, dia hanya mengumpulkan apa yang diminta secara minimal tanpa semangat. Dampaknya, siswa menjadi pasif dan takut berekspresi, kreativitas terhambat karena khawatir tidak sesuai ekspektasi guru. Solusinya mungkin, apresiasi proses dan kreativitas, misalnya, “Wah, videonya kreatif! Menarik banget. Lain kali coba tambahkan unsur isi puisi yang lebih kuat ya.” Dengan begitu, siswa tetap semangat, merasa dihargai, dan terus berkembang.
Pembelajaran yang hanya fokus pada nilai akhir membuat anak milenial kehilangan makna belajar, mereka hanya mengejar angka, bukan pemahaman atau keterampilan. Anak milenial hidup di era kreatif dan kolaboratif. Jika pembelajaran hanya menekankan ujian dan angka, mereka belajar untuk lulus, bukan untuk mengerti. Mereka takut gagal, sehingga enggan mencoba hal baru, lebih suka menyalin jawaban daripada berpikir sendiri. Contohnya, siswa diminta membuat esai, tapi guru hanya menilai dari jumlah kata dan grammar. Isi, ide, atau sudut pandang unik siswa tidak diperhatikan. Akibatnya, siswa tidak tertarik menulis dengan kreativitas karena tahu yang dihitung hanya teknis, bukan isi. Dampaknya, antara lain siswa pasif, tidak termotivasi berpikir kritis, kreativitas dan minat belajar menurun, mereka melihat belajar sebagai beban, bukan kebutuhan. Solusinya, fokus pada proses belajar, beri ruang untuk bereksplorasi, dan apresiasi usaha, misalnya, “Ide kamu menarik, yuk kita kembangkan lebih dalam, nilai bukan segalanya.” Dengan begitu, siswa belajar karena ingin berkembang, bukan sekadar cari angka. 7