IHSA Ingatkan Pemerintah Jangan Longgar pada Wisatawan yang Langgar Aturan

6 days ago 3
ARTICLE AD BOX
Salah satunya wisatawan mancanegara (wisman) yang belakangan marak menginap di kos-kosan, untuk mendapatkan harga akomodasi terjangkau. Pemerintah didorong untuk meningkatkan pengawasan dan tidak lembek pada wisman maupun pelaku usaha yang melanggar.

Hal itu disampaikan Ketua DPP IHSA Alvy Pongoh saat Festival Homestay Nasional yang dilaksanakan di Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng, Sabtu (24/5). Persoalan di dunia pariwisata saat ini sedang didiskusikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Terutama menangani wisman yang tidak taat aturan.

Alvy menyebut setiap usaha harus jelas izinnya. Menurutnya kalau kos-kosan menerima wisman, harus mengurus izin homestay atau akomodasi pariwisata bentuk lain. Pemerintah daerah baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota juga didorong untuk membuat peraturan daerah (perda) sebagai payung hukum pariwisata. Perda ini dapat disesuaikan dengan kearifan lokal di daerah masing-masing.

“Kalau tidak mau masuk sebagai homestay atau akomodasi pariwisata lain, harus masuk ke bidang usaha lain. Persoalan ini memang kasus per kasus dilakukan oknum, tetapi orang lokal, pemerintah daerah tidak boleh longgar atas persoalan seperti ini,” ucap Alvy.

Sementara itu dalam Festival Homestay yang berskala nasional ini digelar sejumlah agenda. Meliputi seminar homestay nasional,  jelajah desa wisata, focus group discussion (FGD), dan pameran ekonomi kerakyatan pada Sabtu (24/5) dan Minggu (25/5). Festival ini, menurut Alvy, sebagai upaya dukungan IHSA terhadap program pemerintah untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas, bertanggung jawab, dan berkelanjutan.

Homestay yang berkembang dengan basis masyarakat di desa wisata (dewi) memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung kemajuan pariwisata Indonesia. Sebanyak 10.000 homestay di seluruh nusantara, saat ini sedang disiapkan untuk standarisasi. Mulai dari homestay standar nasional hingga homestay menuju standar Asia Tenggara. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan peluang masuk pasar internasional.

Desa Panji, Kecamatan Sukasada, Buleleng, dipilih sebagai proyek percontohan. Program ini akan mengimbas ke desa wisata lainnya di Indonesia. “Kami memilih Desa Panji di Buleleng ini karena sejarah homestay berawal dari Bali Utara. Seperti di wilayah Desa Munduk banyak homestay dan vila yang sudah ada sejak zaman Belanda dan masih terjaga,” kata Alvy.

Pelaku-pelaku usaha homestay juga disarankan untuk lebih fokus pada pengemasan paket wisata pada pengalaman unik yang bisa didapatkan wisatawan. Pengelolaan daya tarik wisata (DTW) di wilayah desa dan aktivitas keseharian masyarakat desa bisa dijual untuk menambah lama tinggal wisatawan. 

Sementara itu, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menyoroti bahwa akomodasi ilegal yang tergabung dalam platform digital asing dapat mengancam kelangsungan industri perhotelan di Indonesia.

“Kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM untuk me-review perizinan berusaha, khususnya usaha properti yang secara praktik di lapangan difungsikan sebagai akomodasi tanpa izin,” kata Deputi Bidang Industri dan Investasi Kemenpar Rizki Handayani Mustafa dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (22/5).

Rizki mengatakan menjamurnya praktik akomodasi ilegal yang ditawarkan melalui platform digital atau online travel agent (OTA) asing membuat okupansi hotel di sejumlah destinasi unggulan mengalami penurunan.

Praktik ilegal itu menurutnya sedang terjadi secara masif mulai dari Bali sampai kota-kota besar lainnya. Sejumlah vila dan hunian pribadi disulap jadi tempat akomodasi tanpa legalitas yang jelas.

Rizki menjelaskan situasi itu membuat para pelaku usaha industri pariwisata di berbagai destinasi wisata unggulan dan kota-kota besar di Indonesia merasa khawatir, karena OTA asing menawarkan diskon besar atau harga miring sebagai strategi menarik pelanggan.

“Keberadaan mereka bukan hanya membuat persaingan tidak sehat, tapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem pariwisata lokal yang telah taat regulasi,” ucap Rizki.

Dia menyatakan Kementerian Pariwisata sedang berkoordinasi dengan sejumlah kementerian/lembaga untuk mencari solusi atas masalah yang ada.

Salah satunya yakni menjalin kerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Digital dalam hal pemblokiran platform digital yang belum memiliki izin sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang diatur dalam Permenkominfo No 10/2021.

Upaya itu menjadi bagian dari upaya menciptakan persaingan usaha yang adil. Kedua pihak juga akan membuka dialog konstruktif dengan platform-platform asing untuk mencarikan solusi atas keluhan para pelaku usaha pariwisata di Indonesia.

Rizki mencontohkan platform dapat menerapkan harga miring atau diskon besar berdasarkan kesepakatan dengan pengelola hotel, khususnya di saat low season atau kondisi di mana banyak kamar hotel tidak terjual. Sedangkan pada saat high season, diberlakukan harga normal sesuai harga pasar.

“Platform asing harus tunduk pada regulasi Indonesia. Mereka wajib memiliki badan usaha tetap (BUT), terdaftar NIB, serta tunduk pada sistem perpajakan dan hukum nasional,” kata Rizki.

Kementerian Pariwisata mendukung langkah Pemerintah Provinsi Bali dalam membentuk Satgas Pengawasan Akomodasi Pariwisata Bali untuk menangani maraknya hotel dan vila ilegal, serta mendorong pemerintah daerah lain untuk mencegah hal serupa tidak terjadi di wilayahnya.

Terkait dengan penurunan okupansi, Rizki menjelaskan Kementerian Pariwisata meminta para pengelola hotel melakukan diversifikasi pasar seperti menyasar komunitas dengan daya beli tinggi, memperkaya pengalaman menginap hingga memanfaatkan teknologi untuk strategi promosi yang lebih cerdas.

“Kami terus mendorong inovasi dan promosi yang menyasar pasar yang tepat. Intervensi lintas sektor juga dilakukan untuk menjaga keberlangsungan pelaku usaha pariwisata di Indonesia,” tandas Rizki. 7 k23, ant
Read Entire Article